BANDUNG, Jabar.waspada.co.id – Jika berobat ke rumah sakit ataupun klinik, sebelum mendapat obat pasien tentunya diberi selembar atau lebih resep obat dari dokter.
Dalam kertas resep, terpampang tulisan dokter yang cukup sulit dibaca. Mengenai hal itu, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dr. Hermawan Saputra, SKM MARS CICS. menjelaskan, semakin cepatnya layanan yang dilakukan seorang tenaga kesehatan tidak dibarengi kecepatan pada jari jemarinya dalam menulis resep.
“Seorang tenaga kesehatan memiliki volume layanan yang cepat, maka kecepatan berpikir tidak mampu kecepatan jari jemarinya sehingga kadang penulisannya begitu teramat indah, susah dibaca masyarakat,” ujar Hermawan dilansir dari Antara, Minggu (21/11).
Namun demikian, Hermawan menyebut masalah itu dapat diatasi oleh apoteker. Meskipun begitu tetap tetap melakukan validasi atas resep yang diterima pada dokter yang meresepkan obat.
Bukan hanya itu, untuk meminimalisir kesalahan. Dokter pun memberi pemahaman obat yang akan dimakan oleh pasien.
Seiring berjalannya waktu, Hermawan menerangkan perihal tulisan itu dapat ditangani dengan digitalisasi dalam industri kefarmasian, peresepan dilakukan secara digital. Pasien bahkan bisa mengetahui jenis obat yang diminum termasuk petunjuk konsumsinya.
Sama halnya pada keadaan konvensional, apoteker pun melakukan komunikasi dengan dokter untuk mengkonfirmasi atau memberikan rekomendasi yang menyebabkan perubahan pada resep elektronik.
“Jadi tetap, kalaupun ada peralihan full antara penggunaan peresepan secara konvensional dengan yang sifatnya electronics bases, maka tetap ada fungsi konfirmasi dan itu dimungkinkan secara teknologi,” kata Hermawan.
Lalu dari sisi industri penyedia platform, kata Hermawan harus mampu menyediakan fitur verifikasi itu agar tercapainya tepat obat, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat penggunaan. (wol/ant/vin/data3)
Discussion about this post