BANDUNG, jabar.waspada.co.id – Seni lukis mempunyai banyak aliran. Dalam membuat karya, tentunya setiap pelukis mempunyai teknik-teknik tersendiri.
Salah satu contohnya yaitu teknik airbrush. Airbrush yaitu teknik menggunakan tekanan udara dengan menyemprotkan cat ke bidang kerja.
Chris Angels seorang pelukis asal Kota Bandung telah menekuni teknik lukis kombinasi kuas dan airbrush sejak di bangku perkuliahan seni rupa Udayana Bali, 1983.
Sejak menggilai dunia lukis, aliran yang dipilih Chris adalah realis dan natural. Sebab kecintaannya akan musik, membuat dirinya terpacu melukis musisi kesukaannya.
Namun, Chris mengaku banyak seniman yang tidak mengembangkan kombinasi kuas dan brush. Karena brush dianggap hanya untuk mewarnai otomotif.
Padahal menurut Chris, teknik brush adalah pembelajaran awal di perkuliahan seni rupa. Dalam hal melukis, Chris mengatakan batin adalah kunci terbentuknya sebuah karya.
“Yang paling utama di seni rupa itu bermain hati. Kalau hati kita mengizinkan di mana pun jam berapa pun kita kerjakan,” ucap Chris.
Untuk menyelesaikan karya, Chris tidak bisa memperediksi. “Kecuali orderan foto itu mungkin kita harus tepat waktunya kalau melar kan pemesan bisa kecewa,” bebernya.
Ia bercerita lukisnya tentang sosok Roro Kidul dan Dayang Sumbi baru selesai digarap dan merasa puas dalam waktu tujuh tahun.
Kemudian pada 2008 karena timbul rasa penasaran, Chris mencoba meramu lukisan kuas kombinasi airbrush dengan media banner.
Kilas balik Chris mengenal media banner untuk lukis berasal dari kantor tempat ia bekerja di Jakarta yang gabung dengan percetakan.
Dengan keingintahuannya, Chris mencoba gambar menggunakan bolpoin di banner. Lalu, dia mencoba mewarnai dengan berbagai cat, salah satunya cat mobil tetapi rontok tidak bertahan lama.
Alhasil, Chris menemukan ramuan yang tepat untuk memberi warna lukisan tersebut yakni mengaplikasikan cat banner.
Hingga kini menggeluti lukis di media banner, Chris menuturkan banyak orang yang belum mengenal dan mengira karya tersebut bukanlah lukisan.
“Padahal ada beberapa hotel yang media kanvasnya sudah pakai banner,” kata Chris.
Bahkan di kalangan pelukis, Chris menyebut model lukisan dengan media banner juga belum diketahui dan dipertanyakan kenapa lukis menggunakan banner.
Dengan lugas Chris berpendapat melukis dapat di media apa saja. Jika diulur ke belakang sewaktu dirinya kuliah, seorang dosen menyampaikan bahwa melukis di media apa saja bisa asalkan punya judul dan tema.
“Sekarang saya lihat di medsos koran dipakai untuk lukisan. Jadi melukis tidak di kanvas saja,” tegas Chris.
Dengan belum diakuinya berbagai kalangan, Chris berani menyatakan sikap bahwa lukisan dengan media banner belum terangkat popularitasnya.
Akhirnya agar karyanya diakui sebagai lukisan, empat tahun kebelakang Chris kembali melukis dengan kombinasi kuas dan airbrush di kanvas diselingi juga dengan media banner.
Perbedaan melukis di banner dan kanvas kata Chris terletak pada gambar tidak dapat timbul.
Tapi agar mempunyai tekstur timbul seperti lukisan kanvas, Chris terus berusaha mencari racikan yang tepat.
“Kalau di kanvas biar timbul kan tinggal dikasih acrylic (cat),” cetusnya.
Di samping itu semua, Chris menyayangkan masyarakat kurang menghargai dan mengapresiasi dunia seni terutama lukis.
Chris berharap kepada pemerintah menerbitkan pendidikan yang memperkenalkan para seniman supaya masyarakat lebih mengindahkan seni.
Chris mengambil contoh saat ini, banyak masyarakat tidak mengenal seniman yang karyanya padahal sudah ngalor-ngidul sampai keluar negeri.
“Kalau misalkan punya galeri khusus seperti di luar negeri itu bisa memperkenalkan seniman dan karya-karyanya ke masyarakat,” paparnya.
Oleh karena itu, Chris berharap kepada pemerintah khususnya di Kota Bandung untuk mendirikan galeri untuk para seniman Bandung. (wol/vin/d2)
Discussion about this post